Religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan
dan nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab;
itulah delapan belas nilai yang tercakup dalam Pendidikan Karakter Bangsa.
Nilai-nilai luhur ini kembali ditawarkan mengingat banyaknya generasi terdidik
(generasi muda) yang seperti kehilangan arah, kehilangan keteladanan, dan
kehilangan identitas dalam menyikapi tantangan kemajuan zaman serta invasi
budaya.
Ya, pendidikan karakter hadir sebagai
solusi untuk mengembalikan keharuman budaya serta karakter asli bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkesan terlalu idealis tersebut sebenarnya justru merupakan
nilai murni dari bangsa ini. Nilai-nilai itu sudah ada dalam setiap pribadi
bangsa bahkan sudah mendarah daging pada mereka.
Pendidikan karakter juga bukan
sesuatu yang baru, karena sedari dulu bangsa kita sepenuhnya sadar bahwa sukses
adalah tentang watak, sifat, dan kepribadian. Sukses adalah tentang tradisi dan
kebiasaan, bukan semata tentang pencapaian. Itulah kenapa pendidikan karakter
selalu menjadi konten utama dalam sistem pendidikan para pendahulu
bangsa. Pendidikan karakterlah yang telah banyak melahirkan tokoh negara yang
bahkan namanya dikenal harum hingga ke berbagai dunia.
Sekali lagi, nilai-nilai yang menjadi
standar pencapaian dalam pendidikan karakter bangsa sejatinya bukanlah sesuatu
yang utopis, tapi nilai-nilai luhur tersebut dapat dihidupkan dalam karakter
bangsa jika memang ada sinergitas dalam upaya menanamkannya. Ya, kuncinya
adalah sinergitas!
Berharap pada sistem pendidikan formal dalam menanamkan nilai
Pendidikan Karakter tersebut tentu tidak salah, karena sekolah dengan lingkungan
akademis tentu akan lebih dapat menjaga keberadaan nilai-nilai tersebut,
terutama nilai yang berkaitan dengan intelektualitas seperti jujur, disiplin,
kreatif, rasa ingin tahu, dan gemar membaca. Namun dengan banyaknya tuntutan
akademis dalam sistem pendidikan kita, rasanya mustahil jika pendidikan
karakter tersebut dapat tertanam seluruhnya. Bukankah hari ini kita lihat bahwa
waktu dan energi para pelajar lebih banyak habis untuk mengasah kecerdasan
intelektual dan bahkan terkesan mengesampingkan pendidikan karakter?
Hal lain yang menjadi kendala dalam
upaya pendidikan karakter adalah banyaknya orang tua yang merasa sudah memenuhi
kewajibannya hanya dengan menyekolah anaknya. Banyak orang tua menganggap bahwa
mereka berhak berlepas tangan jika sudah menyekolahkan anaknya. Mereka
menganggap kewajiban mendidik hanyalah bagi guru di sekolah, sedangkan
kewajiban mereka tak lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mereka lupa bahwa pendidikan dalam lingkungan keluarga justru merupakan
kebutuhan vital bagi seorang anak dalam proses pembentukan karakter.
Lingkungan keluarga memiliki kekhasan
tersendiri sebagai tempat tumbuhnya nilai-nilai positif yang tidak dapat
dibangun sepenuhnya di lingkungan sekolah. Kondisi keluarga yang hangat dan
terbuka sangat dibutuhkan untuk mengokohkan pedidikan karakter seperti
religius, mandiri, komunikatif, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Bahkan sebagian besar
nilai-nilai pendidikan karakter tersebut dapat ditanam, ditumbuhkan, dan
dirawat dengan baik justru di tengah lingkungan keluarga. Itulah kenapa para
generasi pendahulu bangsa dapat memiliki keharuman nama sebagai buah dari
pendidikan karakter yang terus ditempa, meskipun mereka tak sekalipun pernah
merasakan pendidikan formal di sekolah.
Inilah yang sangat perlu untuk diberi
penyadaran kepada masyarakat, terutama pada orangtua, bahwa sukses dalam
pendidikan adalah ketika nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter dapat
dimanifestasikan dalam kepribadian generasi muda bangsa. Dan keberhasilan
penanaman nilai-nilai tersebut hanya bisa dicapai ketika terbentuknya
kolaborasi sinergis antara pendidikan formal (sekolah) dengan pendidikan
keluarga. Kolaborasi antara dua madrasah pendidikan tersebut akan dapat
melanggengkan keberadaan nilai-nilai positif yang akan lebih mudah diserap oleh
generasi terdidik. Tapi jika kewajiban mendidik masih dipandang sebagai
kewajiban sekolah, maka selama itu pula permasalahan-permasalahan yang
ditibulkan sebagai akibat krisis identitas bangsa masih akan belum akan
terselesaikan. Dan selama itu pula keharuman karakter bangsa hanya akan menjadi
nilai-nilai idealis yang akan terus pudar dan hilang dari kepribadian bangsa.
Comments
Post a Comment