Syari’at Konservasi untuk Aceh Lestari dan Sejahtera*


*Nilai-nilai spiritual (Islam) yang terkandung dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai materi untuk mendukung ide tulisan, dan tidak dimaksudkan untuk tujuan SARA.


Sebagai provinsi yang terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Faktor inilah yang menjadikan Aceh sebagai wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama) dan berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Keistimewaan Aceh tampak dalam otonomi yang diatur sendiri karena alasan sejarah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur

Keistimewaan itulah penerapan Syari’at Islam yang digunakan sebagai ketentuan yang mengatur hal ikhwal terkait ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (UU 11 ttg Pemerintah Aceh : BAB XVII tentang Syari’at Islam dan Pelaksanaannya)

Lebih jauh lagi, kenyataannya syariat islam tak hanya terbatas pada hal-hal tersebut. Ada ranah lain yang turut tersentuh oleh keluasan syariat yang syumul (menyeluruh), itulah dia ranah alam (lingkungan). Syariat memposisikan alam dalam porsi yang tinggi, sebanding dengan vitalnya keberadaannya serta kelestariannya. Contohnya dalam kondisi perang sekalipun Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam melarang umatnya untuk menebang pohon, terutama pohon yang rindang dan memiliki buah yang bisa dimakan/dimanfaatkan.

Besarnya perhatian syariat terhadap kelestarian lingkungan juga terdapat dari beberapa hadits (perkataan Nabi) diantaranya sebagai barikut, "Tidak ada seorang muslim yang menanamkan pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian dalam hadits lain Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri pun akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu pun akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi (atau mengambil manfaat dari pohon yang ditanaman tersebut), kecuali itu akan menjadi sedekah baginya." (HR. Muslim)

Bahkan besarnya perhatian syariat Islam terhadap kelestarian lingkungan kian tampak dalam hadits berikut, "Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang di antara kalian terdapat bibit pohon kurma, maka jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya maka lakukanlah." (HR. Ahmad)

Begitulah syariat islam mengutamakan alam dan lingkungan serta memposisikannya dalam porsi yang amat penting. Dan dalam pemahaman syariat tidak ada satupun perintah, baik dari al-Qur’an ataupun Hadits, melainkan pasti terkandung kebaikan dan kemanfaatan yang banyak di dalamnya. Maka dalam hal menjaga serta memelihara kelestarian lingkungan tentu saja terdapat keutamaan, kebaikan serta kemanfaatan yang banyak di dalamnya.

Seiring dengan perkembangan kecenderungan nilai sosial, politik, ekonomi dan budaya maka dalam hal konservasi sumber daya alam dan lingkungan Provinsi Aceh bahkan Negara Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia perlu agaknya perlu untuk menjaga kekhasannya. Perlu adanya perubahan paradigma secara mendasar sebagai motivasi yang menjadi “penggerak” dalam upaya konservasi. Khusus dalam konteks ke-Aceh-an, paradigma syariat sebagai pendukung serta pendorong budaya masyarakat yang peduli dengan lingkungan perlu dijaga. Bukan semata untuk kepentingan atau alasan konsevasi semata, tapi lebih dari itu Pemerintah serta masyarakat Aceh perlu menjaga serta menampakkan konsistensi serta kesungguhannya dalam mengamalkan nilai-nilai syariat secara utuh dan menyeluruh.

Jika hal ini dapat dijaga dan dipelihara tentu akan berdampak positif terhadap cita-cita pembangunan poemerintah serta masyarakat Aceh, terutama dalam pembangungan di sektor kehutanan (lingkungan). Keberadaan syariat konservasi akan mampu mendorong peran serta masyarakat Aceh dalam menjamin keberadaan dan kelestarian hutan (lingkungan) dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, serta mengoptimalkan distribusi manfaat (sumber daya alam dan lingkungan) yang berkeadilan dan berkelanjutan. Begitupun dengan prinsip ‘pembangunan berkelanjutan’ memuat pesan moral dalam melakukan pembangunan. Pesan tersebut meliputi pembangunan yang direncanakan dengan tidak mengurangi kualitas sumberdaya alam, meningkatkan mutu sumberdaya alam, adanya proporsi keadilan penerima manfaat dan antar generasi serta berupaya untuk memberikan nilai tambah sumberdaya alam.
Pesan moral yang dibalut dengan nilai-nilai spiritual yang kental namun tetap logis dan masuk akal tentu akan dapat menjadi faktor pendukung dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Jika dalam sektor kehutanan (lingkungan) Pemerintah Aceh, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh memiliki visi yaitu Hutan Lestari, Rakyat Aceh Sejahtera, maka keberadaan nilai-nilai syariat yang diterapkan untuk tercapainya cita-cita kelestarian adalah suatu Syariat Konservasi untuk Aceh Lestari dan Sejahtera. Itulah sebentuk tradisi yang harus selalu dijaga dan diperjuangkan untuk terciptanya kemakmuran.


*tulisan ini diperolmbakan dalam Lomba Karya Tulis USAID Lestari 


Comments